12/03/15

HAM

Dosen saya yang tidak setuju dengan pidana mati berpendapat kalau pidana mati itu ibarat memotong ranting, artinya kurang memberi dampak yang signifikan bagi orang lain (yang mungkin akan mengulanginya), karena jelas ranting bisa tumbuh lagi. Dan ia berharap agar akarnya lah yang dicabut sampai lepas supaya kriminalitas itu yang benar2 lenyap dan tuntas, bukan para kriminalnya.

Dia secara tersirat lebih memilih cara yang dipakai pemerintah Norway yang lebih ke arah rehabilitative dan tidak ada pidana mati sama sekali. Intinya, ia menganggap pemidanaan sebagai pembalasan itu = motong ranting, sedangkan pemidanaan sebagai pemulihan = cabut akar.

Sebenarnya saya setuju dengan pendapat Ibu ini, emang kalau hanya memotong ranting terlalu gampang untuk dikatakan menyelesaikan masalah, yah mungkin menunda. Tapi.

Oke kita anggap saja mencabut akar tersebut sebagai solusi, oleh karenanya pasti butuh waktu yang cukup lama. Sedangkan memotong ranting itu cepat tapi efeknya pun juga sebentar, akan tumbuh lagi.

Maka dari itu menurut saya, jika kita semua sepakat untuk menunggu selagi berusaha bersama2 sampai akar itu tercabut selamanya dari tanah (yang notabene butuh waktu lama), bukankah lebih baik kalau waktu yang ada selama kita menunggu itu digunakan untuk memotong rantingnya secara berkala juga?

Get it?

Gini deh, contoh.

Ada pohon depan rumah kita yang merusak pemandangan. Makanya kita pengen musnahin itu pohon. Di kehidupan nyata pasti digergaji lah ya, tapi karena ini contoh jadinya dilebayin aja.

Kita pengen musnahin itu pohon dengan mencabutnya sampai akar2nya. Bisa dikira2 sendiri lah makan waktu berapa bulan, taon mungkin.

Pohon ini semakin lama daunnya semakin lebat dan semakin mencegah kita melihat pemandangan indah di luar sana. Ga sabar lah ya kalo kita nungguin sampe akar pohon itu lepas.

Makanya, selagi kita berusaha untuk menghilangkan pohon itu selama2nya, kita pun juga memilih untuk memotong ranting2 yang ada di pohon itu secara rutin.

Ah gitulah.

4 komentar:

  1. cewek... godain kita dong.... :P

    BalasHapus
  2. Jadi, I'm wondering apakah lo anak hukum?

    Anyway, gue setuju soal omongan dosen lo. Sama seperti omongan dosen gue (tapi dalam konteks perkotaan), if you know how Jakarta is... I live here and i think this city is the shittiest place to live. Padahal pendahulu kita sebetulnya udah ngerencanain Jakarta secara visioner. Lalu penerusnya yang kemudian ngelakuin aksi "motong ranting" setiap ada masalah. I mean, dalam konteks perkotaan. Aksi "motong ranting" ini nggak pernah menyelesaikan masalah yang ada. Worsen it, even. Karena Jakarta kota yang kompleks, jadi kalo nggak ada tindakan "mencabut akar" ya... jadinya begini, deh. Masalah makin numpuk tanpa penyelesaian. Jakarta yang sekarang. motong ranting terus, Projek ini projek itu, buat nambah-nambahin kantong pemegang kepentingan.

    Kenapa gue nyampah dan sok pintar di sini?

    I like your post, btw. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, anak hukum yang ga hukum2 banget alias biasa2 aja :)

      mungkin itu udah jadi semacam tradisi kita kali ya yang suka ngelakuin apapun dengan cara praktis dan singkat. ga mau lebih tahu tentang sesuatu karena (mungkin lagi) kurang mencintai dan kurang ingin memahami sesuatu itu (dalam kasusmu khususnya Jakarta yes).

      Hahah enggak doong, nyampahlah sesuka hati di sini, u are very welcome

      Thank u

      Hapus