Entah mengapa saat ini aku ingin menuliskan tentang kejadian yang baru anget-angetnya aku alami. Kejadian yang tidak terlalu lama berlalu dan juga tidak terlalu cepat pula. Makanya aku bilang anget-angetnya. Mungkin tidak begitu menarik, tapi akan kucoba bercerita semenarik mungkin. Dan semoga dengan menulis ini aku bisa mengingatnya dengan jelas. Ah ya, kuharap kau akan tertarik membacanya. Ya sudah, terlalu panjang pula prolog ini jadinya. Kalau begitu kumulai saja ya.
Ini adalah sebuah cerita tentang pengalamanku pada kegiatan yang mungkin bisa dibilang sebagai kegiatan outdoor-ku yang terakhir sebagai pengurus pada sebuah organisasi kepecintaalaman di Fakultas Hukum UGM yang bernama M55, singkatan dari Majestic-55. Ah, tak perlulah kujelaskan makna atau pun sejarahnya, cukup tahu saja lah kau namanya. Kebetulan kegiatan outdoor terakhir ini dijalankan dalam rangka pendidikan lanjut (selanjutnya disebut dikjut) terhadap adik-adikku, anggota Diksar XXIX “Serumpun Sebalai”, di awal tahun 2016 ini.
Dikjut pertama yang sudah dilaksanakan adalah dikjut ORAD/T (Olah Raga Arus Deras/Tenang) dengan sasaran adik Bear yang seangkatan denganku (2012) namun baru masuk Majestic-55 dua tahun kemudian. Diteruskan lusanya dengan dikjut Panjat Tebing dan Susur Goa pada waktu yang bersamaan dengan target operasi di panjat tebing adalah Bangir yang banyak nyengir sehingga dedek semakin gemes, dan Atei yang rambut kribo mambonya sempat nyangkut di tebing, sedangkan untuk susur goa ada Bom dengan ledakan mautnya yang dahsyat sampai-sampai para pemudi bahkan pemuda pun dibikinnya meleleh. Namun bukan pengalaman di tiga ataupun di salah satu divisi tersebut yang akan aku ceritakan, melainkan pengalamanku di dikjut terakhir ini, yaitu –teng tereng tengteng– DKJ-GH a.k.a. dikjut gunung-hutan, dimana aku sendiri akan ditempatkan di basecamp Djobolarangan yang biasa kami panggil dengan basecamp emak.
Di basecamp emak ini pula nantinya aku ditemani dengan dua panitia lainnya, yaitu Mbahun yang tak lain tak bukan adalah koordinator divisi (kordiv) gunung-hutan merangkap kepala bidang (kabid) outdoor yang masih galau memilih antara Sumbing atau Sindoro, dan juga Bagak yang sudah lelah terlibat di lapangan gunung-hutan dan ingin sekali-sekali bersenang-senang di basecamp, akan berperan sebagai anggota SMC (SAR Mission Commander). Eits, kau pasti akan bertanya ada apa ini pakai SAR-SAR segala? Anak mana hilang? Yah, begitulah dikjut gunung-hutan ini. Di sini akan dipraktekkan skenario Search and Rescue, yang mana aktor utamanya akan berperan sebagai anggota SRU (Search and Rescue Unit). Mau tahu pula kau siapa pemeran utamanya? Sabar lah ya, bro.
Sebelumnya tak perlu berpanjang lebar, namun ada baiknya kujelaskan dulu. Dalam Search and Rescue terdapat struktur organisasi yang terdiri dari SC (SAR Coordinator), SMC, OSC (On Scene Commander), dan SRU. Struktur tersebut dimulai dari tingkatan yang paling tinggi, dimana SC merupakan bagian dari pemerintah berwenang yang membiayai operasi SAR, sedang SMC bergerak khusus di bidang SAR dan oleh karenanya memiliki skill untuk memimpin operasi SAR dan menginstruksikan OSC maupun SRU, lalu ada OSC sebagai penghubung komunikasi antara SMC dan SRU, begitu pula sebaliknya, bila terjadi kesulitan komunikasi. Dan yang terakhir ialah SRU yang merupakan unit terkecil dalam operasi SAR, dengan fungsi utamanya untuk mencari target operasi SAR di lapangan, yaitu korban atau orang hilang yang ingin ditemukan.
Demi runtutnya tulisan ini, maka setelah sebelumnya kukasih tahu siapa saja anggota SMC-nya yang termasuk aku juga, akan kulanjutkan dengan anggota OSC yang cukup banyak bila diingat-ingat, tapi toh akan kusebutkan juga. Inilah dia…Pirtus, Poncan, Yuyun, Monte, dan Kason. Keluarga cemara. Kenapa itu? Kau tahu, Pirtus itu dansar (komandan diksar / ketua pelaksana) dari diksar terakhir XXX, dimana ia dengan tampang kebapak-annya sering dipanggil “Abah” oleh anak-anak diksarnya, yang salah tiganya adalah Yuyun, Monte, dan Kason tersebut. Lalu ada Poncan yang notabene adalah pacar Pirtus, sehingga otomatis gelar “Emak” nyangkut kepadanya selayaknya rambut Atei yang nyangkut di tebing.
Sebenarnya ada lagi anggota OSC yang lain, namun mereka menyusul esok-esoknya, antara lain Cengli yang baru saja didadar beberapa minggu yang lalu untuk mendapatkan gelar S.H. di belakang namanya menjadi Cengli, S.H., serta Bom dan Bear yang harus melengkapi alat-alat EMS (Evakuasi Medan Sulit) terlebih dulu. Dan selanjutnya, inilah dia yang tentunya kau tunggu-tunggu, seperti menunggu siapa yang akan memerankan Rangga di AADC 2 pada 2016 ini. Jadi, siapa dia anggota SRU kita?!! Ya itu diaaaaa…..Atei, Bangir, dan Be to the yo…BEYO!!!
Perkenalkanlah saudara-saudara, tentunya nama yang menggunakan huruf besar semua itu lah yang terspesial di sini. Beyo. Beyo yang memiliki nama panjang Beyoooo adalah satu dari tujuh sanak famili Korleon yang merupakan seorang pemuda Jogja tulen dengan cita-cita yang sungguh mulia. Entah apa pun cita-citanya yang jelas kita tahu itu sangat mulia. Mengapa ia spesial? Karena dia lah target utama dalam dikjut gunung-hutan ini, dia lah anggota spesialisasi dalam divisi gunung-hutan, sehingga tak bisa dihindari dia juga lah yang akan meneruskan tongkat estafet divisi gunung-hutan ini nantinya. Oleh karena itu, semangat ya adik-adik gunung-hutan selanjutnya.
Dengan ditemani saudara serumpunnya, Atei dan Bangir, untuk menjadi satu-kesatuan dalam menjalankan misi kemanusiaan –ceritanya– diharapkan Beyo mampu melaksanakanya dengan baik dan menjadi leader yang baik pula terhadap Atei dan Bangir, meskipun bisa dikatakan dengan menjadi anggota SRU, mereka berdua kedudukannya adalah sama dengan Beyo, aktor terutama kita. Ya beda-beda tipis lah, porsi lebih tetap ada di tangan Beyo. Ibarat di film 3 Idiot, Beyo adalah Aamir Khan-nya. Joss.
Ya, cukup itu saja mungkin perkenalan pemain-pemainnya, sekarang ayo kita lanjutkan dengan hal-hal yang lain. Maka, setelah aktor utama kita sudah siap dengan segala keperluannya yang khususnya terkait dengan anggota SRU dan kru-kru lainnya tak kalah siap pula, akhirnya pada tanggal 19 Januari malam sebagaian besar dari kami pun berangkat menuju basecamp emak yang berada di Desa Tlogo Dlingo, Tawangmangu, Jawa Tengah. Banyaknya barang dan alat yang penting untuk dibawa seperti antenna, radio rig set, tandu, dan lain-lain, dengan transportasi seadanya, yaitu motor sejumlah sekian yang awalnya agak menyulitkan, tak pelak menjadi kendala bagi kami, karena toh pada akhirnya perjalanan kami berlangsung dengan lancar. Alhamdu…lillah.
Seperti biasa ketika kami melakukan perjalanan serupa, pemberhentian pertama dilakukan di pom bensin Jakal, lalu kurang lebih dua jam setelahnya sampai lah kami di angkringan yang terdapat di depan UNS Solo, tempat langganan kami untuk beristirahat sambil menikmati jajanan khas angkringan Solo. Dan tak sampai sejam bersantai ria, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kemudian mampir sebentar di Indomaret. Terakhir kami berhenti untuk mengisi bensin lagi mengingat perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Dan ya, untuk seterusnya, dengan tanjakan-tanjakan cinta yang motor kami lewati dengan susah mantap dari Karanganyar sampai lokasi tujuan, kami pun akhirnya tiba di basecamp emak satu setengah jam kemudian. Kalau dihitung-hitung, perjalanan kami memakan waktu sebanyak lima jam dari kampus untuk sampai ke sini.
“Emakkk…emakkk…emakkk” *dor gedor dor* diulang sebanyak entah berapa kali. Usaha yang membutuhkan kesabaran karena emak memang sudah tua dan tinggal sendiri di rumahnya. Samar-samar terdengar dari samping rumah emak suara lantunan lagu Jawa yang menaikkan bulu roma. Lalu akhirnya, setelah digedor-gedor dengan cara yang agak kurang ajar –memang harus begitu sepertinya– emak pun membukakan pintu. “Assalamualaikum mak” “Malam mak” “Maaf mengganggu mak” dan bermacam-macam sapaan lain terlontar dari mulut kami. Kemudian kami satu per satu menyalami emak. Seperti biasa emak menyambut kami dengan senyuman hangat meski kami selalu datang larut malam dan mendadak seperti ini. Maklum, tidak ada telepon / selular yang bisa kami hubungi terlebih dulu. Maafkan kami ya, mak.
Masuk ke basecamp lantas kami tak langsung tidur. Banyak hal yang masih perlu dikerjakan. Mengeluarkan seluruh isi packing-an yang dipenuhi dengan logistik, kompor, nesting, serta matras, sleeping bag, dan lain-lainnya. Sehabis itu, Mbahun segera memberi instruksi kepada SRU dan OSC untuk mem-plotting jalur-jalur penyisiran yang direncanakan akan dilewati. Cukup lama mereka mengerjakannya dengan pulpen berwarna-warni di atas peta Djobolarangan tersebut, yang merupakan peta RBI berukuran A4 buatan Gegama, mapala Fakultas Geografi UGM. Aku yang bebas dari pekerjaan mewarnai peta itu pun, karena dilanda kelaparan, memasak mie instan dan air untuk dibuat minuman anget. Semakin larut semakin lelah, satu per satu anak-anak sudah mulai mengakhiri kesibukannya di malam pertama ini dengan menyelinap ke dalam sleeping bag masing-masing. Tapi sang aktor utama kita, Beyo, masih berkutat dengan pulpen warna dan peta di depannya. Oh! Betapa ia tampak begitu menekuninya.
Pagi yang cerah untuk jiwa yang resah. Saatku bangun sudah ramai lalu lintas kehidupan yang terlewat. Kukucek-kucek mata yang setelahnya berkeliaran ke segala arah. Menangkap adik-adik SRU dan OSC yang telah selesai memasak, Mbahun selaku SMC utama sedang menyetel radio rig set, dan masih ada juga yang tertidur lelap. Aha! Tertangkap pula oleh mataku dua orang ALB (Anggota Luar Biasa) Majestic-55 yang baru saja sampai di sini. Adalah mas Faiz dan mas Sangkil, bapak dan anak dari diksar XXI dan diksar XXV. Siap untuk menemani dan menghibur kami di sini.
Pukul 9 kurang, selesai makan dan berberes-beres, SRU yang ditetapkan oleh anggotanya sendiri dengan nama SRU-MPUN itu pun akhirnya siap untuk beraksi, berangkat menjalankan misi. Kepergian mereka diharapkan membawa hasil yang terbaik demi lelaki bernama Mamut Kapucino selaku korban yang –ecek-eceknya– harus ditemukan. Maka, doa untuk keselamatan Mamut serta anggota SRU pun tak luput dipanjatkan kepada Tuhan YME. Untuk itu, mari kita sambut pelaksanaan dikjut ini dengan mengucapkan bismillah. Bismillah!
Ini adalah sebuah cerita tentang pengalamanku pada kegiatan yang mungkin bisa dibilang sebagai kegiatan outdoor-ku yang terakhir sebagai pengurus pada sebuah organisasi kepecintaalaman di Fakultas Hukum UGM yang bernama M55, singkatan dari Majestic-55. Ah, tak perlulah kujelaskan makna atau pun sejarahnya, cukup tahu saja lah kau namanya. Kebetulan kegiatan outdoor terakhir ini dijalankan dalam rangka pendidikan lanjut (selanjutnya disebut dikjut) terhadap adik-adikku, anggota Diksar XXIX “Serumpun Sebalai”, di awal tahun 2016 ini.
Dikjut pertama yang sudah dilaksanakan adalah dikjut ORAD/T (Olah Raga Arus Deras/Tenang) dengan sasaran adik Bear yang seangkatan denganku (2012) namun baru masuk Majestic-55 dua tahun kemudian. Diteruskan lusanya dengan dikjut Panjat Tebing dan Susur Goa pada waktu yang bersamaan dengan target operasi di panjat tebing adalah Bangir yang banyak nyengir sehingga dedek semakin gemes, dan Atei yang rambut kribo mambonya sempat nyangkut di tebing, sedangkan untuk susur goa ada Bom dengan ledakan mautnya yang dahsyat sampai-sampai para pemudi bahkan pemuda pun dibikinnya meleleh. Namun bukan pengalaman di tiga ataupun di salah satu divisi tersebut yang akan aku ceritakan, melainkan pengalamanku di dikjut terakhir ini, yaitu –teng tereng tengteng– DKJ-GH a.k.a. dikjut gunung-hutan, dimana aku sendiri akan ditempatkan di basecamp Djobolarangan yang biasa kami panggil dengan basecamp emak.
Di basecamp emak ini pula nantinya aku ditemani dengan dua panitia lainnya, yaitu Mbahun yang tak lain tak bukan adalah koordinator divisi (kordiv) gunung-hutan merangkap kepala bidang (kabid) outdoor yang masih galau memilih antara Sumbing atau Sindoro, dan juga Bagak yang sudah lelah terlibat di lapangan gunung-hutan dan ingin sekali-sekali bersenang-senang di basecamp, akan berperan sebagai anggota SMC (SAR Mission Commander). Eits, kau pasti akan bertanya ada apa ini pakai SAR-SAR segala? Anak mana hilang? Yah, begitulah dikjut gunung-hutan ini. Di sini akan dipraktekkan skenario Search and Rescue, yang mana aktor utamanya akan berperan sebagai anggota SRU (Search and Rescue Unit). Mau tahu pula kau siapa pemeran utamanya? Sabar lah ya, bro.
Sebelumnya tak perlu berpanjang lebar, namun ada baiknya kujelaskan dulu. Dalam Search and Rescue terdapat struktur organisasi yang terdiri dari SC (SAR Coordinator), SMC, OSC (On Scene Commander), dan SRU. Struktur tersebut dimulai dari tingkatan yang paling tinggi, dimana SC merupakan bagian dari pemerintah berwenang yang membiayai operasi SAR, sedang SMC bergerak khusus di bidang SAR dan oleh karenanya memiliki skill untuk memimpin operasi SAR dan menginstruksikan OSC maupun SRU, lalu ada OSC sebagai penghubung komunikasi antara SMC dan SRU, begitu pula sebaliknya, bila terjadi kesulitan komunikasi. Dan yang terakhir ialah SRU yang merupakan unit terkecil dalam operasi SAR, dengan fungsi utamanya untuk mencari target operasi SAR di lapangan, yaitu korban atau orang hilang yang ingin ditemukan.
Demi runtutnya tulisan ini, maka setelah sebelumnya kukasih tahu siapa saja anggota SMC-nya yang termasuk aku juga, akan kulanjutkan dengan anggota OSC yang cukup banyak bila diingat-ingat, tapi toh akan kusebutkan juga. Inilah dia…Pirtus, Poncan, Yuyun, Monte, dan Kason. Keluarga cemara. Kenapa itu? Kau tahu, Pirtus itu dansar (komandan diksar / ketua pelaksana) dari diksar terakhir XXX, dimana ia dengan tampang kebapak-annya sering dipanggil “Abah” oleh anak-anak diksarnya, yang salah tiganya adalah Yuyun, Monte, dan Kason tersebut. Lalu ada Poncan yang notabene adalah pacar Pirtus, sehingga otomatis gelar “Emak” nyangkut kepadanya selayaknya rambut Atei yang nyangkut di tebing.
Sebenarnya ada lagi anggota OSC yang lain, namun mereka menyusul esok-esoknya, antara lain Cengli yang baru saja didadar beberapa minggu yang lalu untuk mendapatkan gelar S.H. di belakang namanya menjadi Cengli, S.H., serta Bom dan Bear yang harus melengkapi alat-alat EMS (Evakuasi Medan Sulit) terlebih dulu. Dan selanjutnya, inilah dia yang tentunya kau tunggu-tunggu, seperti menunggu siapa yang akan memerankan Rangga di AADC 2 pada 2016 ini. Jadi, siapa dia anggota SRU kita?!! Ya itu diaaaaa…..Atei, Bangir, dan Be to the yo…BEYO!!!
Perkenalkanlah saudara-saudara, tentunya nama yang menggunakan huruf besar semua itu lah yang terspesial di sini. Beyo. Beyo yang memiliki nama panjang Beyoooo adalah satu dari tujuh sanak famili Korleon yang merupakan seorang pemuda Jogja tulen dengan cita-cita yang sungguh mulia. Entah apa pun cita-citanya yang jelas kita tahu itu sangat mulia. Mengapa ia spesial? Karena dia lah target utama dalam dikjut gunung-hutan ini, dia lah anggota spesialisasi dalam divisi gunung-hutan, sehingga tak bisa dihindari dia juga lah yang akan meneruskan tongkat estafet divisi gunung-hutan ini nantinya. Oleh karena itu, semangat ya adik-adik gunung-hutan selanjutnya.
Dengan ditemani saudara serumpunnya, Atei dan Bangir, untuk menjadi satu-kesatuan dalam menjalankan misi kemanusiaan –ceritanya– diharapkan Beyo mampu melaksanakanya dengan baik dan menjadi leader yang baik pula terhadap Atei dan Bangir, meskipun bisa dikatakan dengan menjadi anggota SRU, mereka berdua kedudukannya adalah sama dengan Beyo, aktor terutama kita. Ya beda-beda tipis lah, porsi lebih tetap ada di tangan Beyo. Ibarat di film 3 Idiot, Beyo adalah Aamir Khan-nya. Joss.
Ya, cukup itu saja mungkin perkenalan pemain-pemainnya, sekarang ayo kita lanjutkan dengan hal-hal yang lain. Maka, setelah aktor utama kita sudah siap dengan segala keperluannya yang khususnya terkait dengan anggota SRU dan kru-kru lainnya tak kalah siap pula, akhirnya pada tanggal 19 Januari malam sebagaian besar dari kami pun berangkat menuju basecamp emak yang berada di Desa Tlogo Dlingo, Tawangmangu, Jawa Tengah. Banyaknya barang dan alat yang penting untuk dibawa seperti antenna, radio rig set, tandu, dan lain-lain, dengan transportasi seadanya, yaitu motor sejumlah sekian yang awalnya agak menyulitkan, tak pelak menjadi kendala bagi kami, karena toh pada akhirnya perjalanan kami berlangsung dengan lancar. Alhamdu…lillah.
Seperti biasa ketika kami melakukan perjalanan serupa, pemberhentian pertama dilakukan di pom bensin Jakal, lalu kurang lebih dua jam setelahnya sampai lah kami di angkringan yang terdapat di depan UNS Solo, tempat langganan kami untuk beristirahat sambil menikmati jajanan khas angkringan Solo. Dan tak sampai sejam bersantai ria, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kemudian mampir sebentar di Indomaret. Terakhir kami berhenti untuk mengisi bensin lagi mengingat perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Dan ya, untuk seterusnya, dengan tanjakan-tanjakan cinta yang motor kami lewati dengan susah mantap dari Karanganyar sampai lokasi tujuan, kami pun akhirnya tiba di basecamp emak satu setengah jam kemudian. Kalau dihitung-hitung, perjalanan kami memakan waktu sebanyak lima jam dari kampus untuk sampai ke sini.
“Emakkk…emakkk…emakkk” *dor gedor dor* diulang sebanyak entah berapa kali. Usaha yang membutuhkan kesabaran karena emak memang sudah tua dan tinggal sendiri di rumahnya. Samar-samar terdengar dari samping rumah emak suara lantunan lagu Jawa yang menaikkan bulu roma. Lalu akhirnya, setelah digedor-gedor dengan cara yang agak kurang ajar –memang harus begitu sepertinya– emak pun membukakan pintu. “Assalamualaikum mak” “Malam mak” “Maaf mengganggu mak” dan bermacam-macam sapaan lain terlontar dari mulut kami. Kemudian kami satu per satu menyalami emak. Seperti biasa emak menyambut kami dengan senyuman hangat meski kami selalu datang larut malam dan mendadak seperti ini. Maklum, tidak ada telepon / selular yang bisa kami hubungi terlebih dulu. Maafkan kami ya, mak.
Masuk ke basecamp lantas kami tak langsung tidur. Banyak hal yang masih perlu dikerjakan. Mengeluarkan seluruh isi packing-an yang dipenuhi dengan logistik, kompor, nesting, serta matras, sleeping bag, dan lain-lainnya. Sehabis itu, Mbahun segera memberi instruksi kepada SRU dan OSC untuk mem-plotting jalur-jalur penyisiran yang direncanakan akan dilewati. Cukup lama mereka mengerjakannya dengan pulpen berwarna-warni di atas peta Djobolarangan tersebut, yang merupakan peta RBI berukuran A4 buatan Gegama, mapala Fakultas Geografi UGM. Aku yang bebas dari pekerjaan mewarnai peta itu pun, karena dilanda kelaparan, memasak mie instan dan air untuk dibuat minuman anget. Semakin larut semakin lelah, satu per satu anak-anak sudah mulai mengakhiri kesibukannya di malam pertama ini dengan menyelinap ke dalam sleeping bag masing-masing. Tapi sang aktor utama kita, Beyo, masih berkutat dengan pulpen warna dan peta di depannya. Oh! Betapa ia tampak begitu menekuninya.
Pagi yang cerah untuk jiwa yang resah. Saatku bangun sudah ramai lalu lintas kehidupan yang terlewat. Kukucek-kucek mata yang setelahnya berkeliaran ke segala arah. Menangkap adik-adik SRU dan OSC yang telah selesai memasak, Mbahun selaku SMC utama sedang menyetel radio rig set, dan masih ada juga yang tertidur lelap. Aha! Tertangkap pula oleh mataku dua orang ALB (Anggota Luar Biasa) Majestic-55 yang baru saja sampai di sini. Adalah mas Faiz dan mas Sangkil, bapak dan anak dari diksar XXI dan diksar XXV. Siap untuk menemani dan menghibur kami di sini.
Pukul 9 kurang, selesai makan dan berberes-beres, SRU yang ditetapkan oleh anggotanya sendiri dengan nama SRU-MPUN itu pun akhirnya siap untuk beraksi, berangkat menjalankan misi. Kepergian mereka diharapkan membawa hasil yang terbaik demi lelaki bernama Mamut Kapucino selaku korban yang –ecek-eceknya– harus ditemukan. Maka, doa untuk keselamatan Mamut serta anggota SRU pun tak luput dipanjatkan kepada Tuhan YME. Untuk itu, mari kita sambut pelaksanaan dikjut ini dengan mengucapkan bismillah. Bismillah!
Anggota SRU siap beraksi (kiri – kanan: Bangir, Beyo, Atei)
Ditinggal oleh mereka tak lantas membuat kami kesepian. Apalagi anggota OSC belum harus turun ke lapangan, mengingat fungsi utama mereka adalah untuk me-relay komunikasi apabila komunikasi antara SMC dan SRU terhambat karena jarak yang jauh, sedangkan untuk sekarang komunikasi masih bisa dibilang terjangkau. Maka di sini, kami pun bersenang-senang dalam kegabutan luar biasa.
Dibalik kegabutan yang melanda kami yang sedang berada di basecamp, di situ pula kami mencari-cari suatu kegiatan. Aku yang bosan, ketika melihat mas Faiz dan Monte di lapangan sana, ikut turun ke bawah. Mencoba memantau SRU-MPUN dengan binokuler yang dibawa oleh Monte tapi ternyata mereka sudah tidak terlihat lagi. Lalu meninggalkan mereka berdua, aku berjalan memutari ladang-ladang untuk mengambil potret alam yang tak pernah habis kecantikannnya itu. Berjalan dan terus berjalan, hingga hampir tiba di rumah yang nampak tak berpenghuni, mendapati mas Faiz, Monte, dan Kason menuju ke sana. Diburu rasa penasaran karena mendengar suara gonggongan anjing yang begitu kerasnya, kami menghampiri kandang yang berada di samping rumah. Terdapat tiga anjing pitbull dan seekor babi hutan di masing-masing kandang yang tak digembok itu. Entah untuk apa, aku tak tahu.
Kami kembali ke basecamp dan kembali mencari kegiatan lain yang bisa dikerjakan, seperti halnya masak-memasak, dimana suhu yang dingin membuat kami selalu ingin makan, lalu ada yang pula menikmati pemandangan yang terpampang dari teras rumah emak sambil mendengarkan musik, membaca buku, menonton film, dan lain-lainnya. Meski begitu, tugas utama tetap berjalan, yaitu melakukan komunikasi rutin dengan SRU setiap tiga jam sekali dan komunikasi saat SRU beristirahat pada waktu efektif penyisiran. Pada malam hari, ketika SRU sudah selesai mendirikan tenda dan makan malam, kewajiban untuk membongkar laporan kepada SMC pun dilakukan. Pada malam pertama ketika SRU berada di lapangan ini pula mas Faiz dan mas Sangkil pulang ke Jogja. Ah, cepatnya.
Pagi selanjutnya, setelah menikmati kelezatan nasi telur pecel yang dibeli oleh duo Abah dan Emak di pasar Tawangmangu, muncullah ke basecamp penampakan seseorang yang cukup familiar. Dia adalah mas Tawon, ALB ketiga yang datang mengunjungi kami. Dan tahu kau apa yang menarik dari kunjungannya? Adalah fakta bahwa dia mengendarai sepeda sepanjang perjalanannya dari Jogja ke sini. Entah sudah berapa jam ia mengayuh, yang jelas sudah dimulai sejak hari kemaren. Ia tampak sangat kelelahan setelah sebelumnya pula adik kami Monte menghampiri untuk menolongnya dengan motor di tanjakan cinta pertigaan terakhir di bawah sana. Tak terbayangkan betapa beratnya tanjakan-tanjakan lainnya yang sudah ia lalui. Bercerita ia pada kami bahwa pada awalnya tidak berniat ke sini, hanya ingin jalan-jalan sampai Solo. Tapi merasa kurang puas, ia pun meneruskan dengan alasan, “nanggung”. Buset.
Lapar lagi yang ditandai dengan bunyi bel perut keroncongan, maka agenda masak-masak pun dimulai. Dengan menu andalan berupa ikan, semua personil saling berkontribusi membantu dalam proses memasak, baik itu menyiapkan alat masak, memotong bahan makanan, menumbuk cabe, hingga ketika semuanya sudah siap disajikan, maka tak ada satu personil pun yang ketinggalan untuk berkontribusi saat makan. Puas makan, agenda cuci piring pun tak terelakkan. Ah, kenyang. Meski baru dua hari berlangsung, sudah begitu banyak bahan makanan yang habis terbuang ke dalam perut. Biarlah.
Lagi lagi kegabutan kembali menerjang kami, sehingga kami masih saja berkutat dengan kegiatan-kegiatan yang sama seperti kemaren. Namun kini, menonton film menjadi pengisi waktu favorit. Ada yang menonton bersama dan ada yang menonton sendiri pula. Dan di hari kedua ini anggota OSC masih ditempatkan di basecamp karena belum diperlukan di lapangan. Lalu bagaimana kabar anggota SRU kita? Menurut informasi yang diterima mereka baik-baik saja dan masih belum mendapatkan jejak-jejak Mamut Kapucino.
Sepertinya tulisan ini harus segera kuakhiri, meski masih begitu banyak hal-hal yang terjadi yang tak sempat kuceritakan dan tak perlu diceritakan pula, karena seyogyanya merupakan rahasia rumah tangga kami. Ssst. Dan entah akan menjadi berapa belas halaman pula nantinya bila terus kulanjutkan, sebelum kau lelap dibuat bosan karenanya. Tapi mungkin akan kujelaskan secara singkat saja selayaknya narasi mengenai ending sebuah film yang notabene pada cerita ini masih berlangsung setengah jalan. Ibarat menonton VCD yang disc duanya hilang, sehingga kau hanya mendapatkan gambaran selanjutnya berdasarkan cerita singkat dari seorang teman.
Hari ketiga di siang hari, anggota OSC akhirnya diluncurkan ke lapangan karena posisi SRU yang semakin tidak terjangkau melalui komunikasi SMC. Sedangkan SMC, khususnya Mbahun, masih setia berada di dekat radio rig set untuk selalu stand by on. Menghibur diri dengan menonton film dan membaca buku menjadi kegiatan rutinku selama di sini. Kadang berjalan tak tentu arah dengan dalil berolahraga karena lelah berduduk-duduk saja. Lalu pada tengah malamnya, barulah tiba trio kwek-kwek yang sudah lama ditunggu-tunggu, Cengli, Bear, dan Bom. Mereka bertiga berangkat menuju lokasi OSC pukul 9 pagi. Di hari keempat ini, kami bertiga masih setia ditemani mas Tawon sampai pada sore menjelang malam, datanglah mas Kapten dan mba Eli. Akhirnya ada personil tambahan! Dan yang lebih menyenangkan hati adalah mereka membawa makanan Serabi yang langsung kami lahap dengan rakusnya.
Meski mulai bosan, tapi kurasa kami sudah nyaman berada di sini, di rumah ini. Mungkin karena emak yang selalu menawarkan makanan yang dibuatnya ketika kami melewati dapur untuk ke WC atau sekedar mencuci piring, atau secuil pemandangan indah yang tak pernah penat kami saksikan di depan sana, atau mungkin juga karena kebersamaan yang sudah kami lalui selama beberapa hari ini, entah itu yang berada di lapangan sana atau yang di rumah sini. Terkadang membuatku merenung betapa sedihnya ketika nanti semua ini berakhir. Mungkin tidak berlaku bagi semua, tapi ini yang kurasakan pribadi, mengingat bisa dibilang ini adalah kegiatan outdoor terakhirku sebagai pengurus.
Hari kelima, siangnya kami mendapatkan kabar dan meneruskannya kepada SRU-MPUN bahwa Mamut Kapucino telah ditemukan oleh SRU lain (SRU bayangan) dengan kondisi sudah tak bernyawa. Innalillahi wainaillahi roji’un. Dan berita mengejutkan lagi bahwa telah ditemukan pula korban tak terduga, seorang perempuan dengan kondisi kritis yang harus segera dievakuasi. Kemudian Mbahun memberikan titik koordinat keberadaan korban tersebut kepada mereka. Setelah mempersiapkan dan membawa semua peralatan EMS serta tandu ke lokasi korban, akhirnya pada pukul setengah tiga, SRU-MPUN dan personil tambahan Bom dan Bear, yang kelima-limanya memiliki kemampuan EMS, memulai aksinya untuk melakukan evakuasi di medan yang sulit tersebut. Dari mulai memasang instalasi terhadap korban (yang kali ini diperankan oleh Yuyun) di atas tandu, membuat instalasi untuk lowering dan rising, mengencangkan tali statis atau biasa dikatakan membuat tali tegang, hingga mengangkut dan menarik korban ke tempat yang aman dan nyaman. Namun manusia hanyalah manusia, hanya bisa berdoa dan berikhtiar. Karena hanya Tuhan lah yang menciptakan kehidupan dan merenggut kehidupan itu pula. Sekali lagi, innalillahi wainaillahi roji’un, korban yang telah berhasil dievakuasi tersebut –ceritanya– meninggal dunia.
Dibalik kegabutan yang melanda kami yang sedang berada di basecamp, di situ pula kami mencari-cari suatu kegiatan. Aku yang bosan, ketika melihat mas Faiz dan Monte di lapangan sana, ikut turun ke bawah. Mencoba memantau SRU-MPUN dengan binokuler yang dibawa oleh Monte tapi ternyata mereka sudah tidak terlihat lagi. Lalu meninggalkan mereka berdua, aku berjalan memutari ladang-ladang untuk mengambil potret alam yang tak pernah habis kecantikannnya itu. Berjalan dan terus berjalan, hingga hampir tiba di rumah yang nampak tak berpenghuni, mendapati mas Faiz, Monte, dan Kason menuju ke sana. Diburu rasa penasaran karena mendengar suara gonggongan anjing yang begitu kerasnya, kami menghampiri kandang yang berada di samping rumah. Terdapat tiga anjing pitbull dan seekor babi hutan di masing-masing kandang yang tak digembok itu. Entah untuk apa, aku tak tahu.
Kami kembali ke basecamp dan kembali mencari kegiatan lain yang bisa dikerjakan, seperti halnya masak-memasak, dimana suhu yang dingin membuat kami selalu ingin makan, lalu ada yang pula menikmati pemandangan yang terpampang dari teras rumah emak sambil mendengarkan musik, membaca buku, menonton film, dan lain-lainnya. Meski begitu, tugas utama tetap berjalan, yaitu melakukan komunikasi rutin dengan SRU setiap tiga jam sekali dan komunikasi saat SRU beristirahat pada waktu efektif penyisiran. Pada malam hari, ketika SRU sudah selesai mendirikan tenda dan makan malam, kewajiban untuk membongkar laporan kepada SMC pun dilakukan. Pada malam pertama ketika SRU berada di lapangan ini pula mas Faiz dan mas Sangkil pulang ke Jogja. Ah, cepatnya.
Pagi selanjutnya, setelah menikmati kelezatan nasi telur pecel yang dibeli oleh duo Abah dan Emak di pasar Tawangmangu, muncullah ke basecamp penampakan seseorang yang cukup familiar. Dia adalah mas Tawon, ALB ketiga yang datang mengunjungi kami. Dan tahu kau apa yang menarik dari kunjungannya? Adalah fakta bahwa dia mengendarai sepeda sepanjang perjalanannya dari Jogja ke sini. Entah sudah berapa jam ia mengayuh, yang jelas sudah dimulai sejak hari kemaren. Ia tampak sangat kelelahan setelah sebelumnya pula adik kami Monte menghampiri untuk menolongnya dengan motor di tanjakan cinta pertigaan terakhir di bawah sana. Tak terbayangkan betapa beratnya tanjakan-tanjakan lainnya yang sudah ia lalui. Bercerita ia pada kami bahwa pada awalnya tidak berniat ke sini, hanya ingin jalan-jalan sampai Solo. Tapi merasa kurang puas, ia pun meneruskan dengan alasan, “nanggung”. Buset.
Lapar lagi yang ditandai dengan bunyi bel perut keroncongan, maka agenda masak-masak pun dimulai. Dengan menu andalan berupa ikan, semua personil saling berkontribusi membantu dalam proses memasak, baik itu menyiapkan alat masak, memotong bahan makanan, menumbuk cabe, hingga ketika semuanya sudah siap disajikan, maka tak ada satu personil pun yang ketinggalan untuk berkontribusi saat makan. Puas makan, agenda cuci piring pun tak terelakkan. Ah, kenyang. Meski baru dua hari berlangsung, sudah begitu banyak bahan makanan yang habis terbuang ke dalam perut. Biarlah.
Lagi lagi kegabutan kembali menerjang kami, sehingga kami masih saja berkutat dengan kegiatan-kegiatan yang sama seperti kemaren. Namun kini, menonton film menjadi pengisi waktu favorit. Ada yang menonton bersama dan ada yang menonton sendiri pula. Dan di hari kedua ini anggota OSC masih ditempatkan di basecamp karena belum diperlukan di lapangan. Lalu bagaimana kabar anggota SRU kita? Menurut informasi yang diterima mereka baik-baik saja dan masih belum mendapatkan jejak-jejak Mamut Kapucino.
Sepertinya tulisan ini harus segera kuakhiri, meski masih begitu banyak hal-hal yang terjadi yang tak sempat kuceritakan dan tak perlu diceritakan pula, karena seyogyanya merupakan rahasia rumah tangga kami. Ssst. Dan entah akan menjadi berapa belas halaman pula nantinya bila terus kulanjutkan, sebelum kau lelap dibuat bosan karenanya. Tapi mungkin akan kujelaskan secara singkat saja selayaknya narasi mengenai ending sebuah film yang notabene pada cerita ini masih berlangsung setengah jalan. Ibarat menonton VCD yang disc duanya hilang, sehingga kau hanya mendapatkan gambaran selanjutnya berdasarkan cerita singkat dari seorang teman.
Hari ketiga di siang hari, anggota OSC akhirnya diluncurkan ke lapangan karena posisi SRU yang semakin tidak terjangkau melalui komunikasi SMC. Sedangkan SMC, khususnya Mbahun, masih setia berada di dekat radio rig set untuk selalu stand by on. Menghibur diri dengan menonton film dan membaca buku menjadi kegiatan rutinku selama di sini. Kadang berjalan tak tentu arah dengan dalil berolahraga karena lelah berduduk-duduk saja. Lalu pada tengah malamnya, barulah tiba trio kwek-kwek yang sudah lama ditunggu-tunggu, Cengli, Bear, dan Bom. Mereka bertiga berangkat menuju lokasi OSC pukul 9 pagi. Di hari keempat ini, kami bertiga masih setia ditemani mas Tawon sampai pada sore menjelang malam, datanglah mas Kapten dan mba Eli. Akhirnya ada personil tambahan! Dan yang lebih menyenangkan hati adalah mereka membawa makanan Serabi yang langsung kami lahap dengan rakusnya.
Meski mulai bosan, tapi kurasa kami sudah nyaman berada di sini, di rumah ini. Mungkin karena emak yang selalu menawarkan makanan yang dibuatnya ketika kami melewati dapur untuk ke WC atau sekedar mencuci piring, atau secuil pemandangan indah yang tak pernah penat kami saksikan di depan sana, atau mungkin juga karena kebersamaan yang sudah kami lalui selama beberapa hari ini, entah itu yang berada di lapangan sana atau yang di rumah sini. Terkadang membuatku merenung betapa sedihnya ketika nanti semua ini berakhir. Mungkin tidak berlaku bagi semua, tapi ini yang kurasakan pribadi, mengingat bisa dibilang ini adalah kegiatan outdoor terakhirku sebagai pengurus.
Hari kelima, siangnya kami mendapatkan kabar dan meneruskannya kepada SRU-MPUN bahwa Mamut Kapucino telah ditemukan oleh SRU lain (SRU bayangan) dengan kondisi sudah tak bernyawa. Innalillahi wainaillahi roji’un. Dan berita mengejutkan lagi bahwa telah ditemukan pula korban tak terduga, seorang perempuan dengan kondisi kritis yang harus segera dievakuasi. Kemudian Mbahun memberikan titik koordinat keberadaan korban tersebut kepada mereka. Setelah mempersiapkan dan membawa semua peralatan EMS serta tandu ke lokasi korban, akhirnya pada pukul setengah tiga, SRU-MPUN dan personil tambahan Bom dan Bear, yang kelima-limanya memiliki kemampuan EMS, memulai aksinya untuk melakukan evakuasi di medan yang sulit tersebut. Dari mulai memasang instalasi terhadap korban (yang kali ini diperankan oleh Yuyun) di atas tandu, membuat instalasi untuk lowering dan rising, mengencangkan tali statis atau biasa dikatakan membuat tali tegang, hingga mengangkut dan menarik korban ke tempat yang aman dan nyaman. Namun manusia hanyalah manusia, hanya bisa berdoa dan berikhtiar. Karena hanya Tuhan lah yang menciptakan kehidupan dan merenggut kehidupan itu pula. Sekali lagi, innalillahi wainaillahi roji’un, korban yang telah berhasil dievakuasi tersebut –ceritanya– meninggal dunia.
Tim EMS membuat riggingan di pohon
Akhirnya, telah sampai kita pada akhir cerita, meski nyatanya tidak semua berakhir di sini. Mengingat durasi yang terbatas, akan kubuat epilog tersingkat yang pernah ada.
Mas Tawon dengan sepeda yang dikayuhnya, memilih pulang terlebih dulu pada sore hari. Sedang mba Eli dan mas Kapten mengikuti kegiatan EMS sampai akhir, dimana mereka berlakon sebagai warkamsi sebagaimana dengan pengurus gabut lainnya yang menyaksikan suatu proses evakuasi. Tapi nantinya mereka memutuskan untuk pulang lebih awal. Lalu kami yang tersisa, yang kesemuanya tak lain adalah pengurus Majestic-55, masih berkewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap dikjut gunung-hutan ini, dikjut yang telah berjalan selama hampir satu minggu ini. Maka, setelah istirahat makan dan mandi, khususnya bagi SRU-MPUN yang baunya menyengat kemana-mana itu, dimulailah evaluasi yang sangattak ingin kau tunggu-tunggu itu!
Mas Tawon dengan sepeda yang dikayuhnya, memilih pulang terlebih dulu pada sore hari. Sedang mba Eli dan mas Kapten mengikuti kegiatan EMS sampai akhir, dimana mereka berlakon sebagai warkamsi sebagaimana dengan pengurus gabut lainnya yang menyaksikan suatu proses evakuasi. Tapi nantinya mereka memutuskan untuk pulang lebih awal. Lalu kami yang tersisa, yang kesemuanya tak lain adalah pengurus Majestic-55, masih berkewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap dikjut gunung-hutan ini, dikjut yang telah berjalan selama hampir satu minggu ini. Maka, setelah istirahat makan dan mandi, khususnya bagi SRU-MPUN yang baunya menyengat kemana-mana itu, dimulailah evaluasi yang sangat
***
Tulisan ini dibuat pada tanggal 5 Februari 2016 untuk
dimuat dalam buletin Sengkuni Edisi Maret 2016 Majestic-55 FH UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar