Max
Havelaar
Sebuah cerita di
dalam cerita. Ada banyak cerita. Penyampaian cerita yang spontan, emosional,
dan acak. Fiksi yang jauh lebih nyata. Karena terinspirasi dari kisah nyata.
Memang nyata. Dan karenanya tertulis dan tersampaikan begitu nyata. Oleh Douwes
Dekker yang sudah belasan tahun tinggal di Hindia. Sebutan Indonesia kala masih
dijajah Belanda.
Saat pertama kali
munculnya buku ini, Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli. Pada epilog, ia dengan lantang menyuarakan kegeramannya terhadap pemerintah
Belanda, pemerintah negara penjajah, juga terhadap pejabat-pejabat pribumi yang juga berada
di kekuasaan penjajah -yang jauh lebih penjajah lagi, tapi padahal dijajah- yang
sangat sering bertindak zalim kepada rakyat, Ini sama lantangnya ketika ia
menceritakan itu semua melalui karakter-karakter yang ia buat, Droogstoppel yang
menjijikkan, Max Havelaar yang adalah sosok adil tapi dikerdilkan, Tine yang bagai
tanpa cela, Max kecil (anak Havelaar dan Tine) yang tak bisa kukomentari, para
pejabat Hindia Belanda yang…ah sudahlah.
Penggambaran sistem
yang layaknya lingkaran setan. Penganalogian kakak dan adik antara
Residen dan Bupati. Bagaimana sosok Kakak harus menyenangkan Adiknya, yang
sangat dicintai oleh orang-orang sekitarnya, Rakyat. Rakyat yang dikhianati. Rakyat tertindas yang tak bisa berbuat
apa-apa. Tenaga diperas, harta dirampas, nyawa pun lepas. Ah.. senang aku bisa
berima-rima. Kalau kata Droogstoppel, terlalu dipaksakan dan tidak jujur.
Laporan positif untuk
menyenangkan atasan. Sehingga saat ada yang menunjukkan dengan jelas kebutaan
yang menyesatkan, kebutaan yang memang sengaja dipilih, maka tindakan yang
tepat adalah, abaikan. Abaikan segala yang negatif. Ya, ABAIKAN! Apalah artinya sumpah
jabatan. Memang tak berarti. Yang penting pasokan-pasokan tetap dikirimkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar