18/06/16

Max Havelaar, Multatli, "nama-nama" yang sering kudengar saat duduk di bangku sekolah dasar

Max Havelaar
Sebuah cerita di dalam cerita. Ada banyak cerita. Penyampaian cerita yang spontan, emosional, dan acak. Fiksi yang jauh lebih nyata. Karena terinspirasi dari kisah nyata. Memang nyata. Dan karenanya tertulis dan tersampaikan begitu nyata. Oleh Douwes Dekker yang sudah belasan tahun tinggal di Hindia. Sebutan Indonesia kala masih dijajah Belanda.
Saat pertama kali munculnya buku ini, Douwes Dekker menggunakan nama pena Multatuli. Pada epilog, ia dengan lantang menyuarakan kegeramannya terhadap pemerintah Belanda, pemerintah negara penjajah, juga terhadap pejabat-pejabat pribumi yang juga berada di kekuasaan penjajah -yang jauh lebih penjajah lagi, tapi padahal dijajah- yang sangat sering bertindak zalim kepada rakyat, Ini sama lantangnya ketika ia menceritakan itu semua melalui karakter-karakter yang ia buat, Droogstoppel yang menjijikkan, Max Havelaar yang adalah sosok adil tapi dikerdilkan, Tine yang bagai tanpa cela, Max kecil (anak Havelaar dan Tine) yang tak bisa kukomentari, para pejabat Hindia Belanda yang…ah sudahlah.
Penggambaran sistem yang layaknya lingkaran setan. Penganalogian kakak dan adik antara Residen dan Bupati. Bagaimana sosok Kakak harus menyenangkan Adiknya, yang sangat dicintai oleh orang-orang sekitarnya, Rakyat. Rakyat yang dikhianati. Rakyat tertindas yang tak bisa berbuat apa-apa. Tenaga diperas, harta dirampas, nyawa pun lepas. Ah.. senang aku bisa berima-rima. Kalau kata Droogstoppel, terlalu dipaksakan dan tidak jujur.
Laporan positif untuk menyenangkan atasan. Sehingga saat ada yang menunjukkan dengan jelas kebutaan yang menyesatkan, kebutaan yang memang sengaja dipilih, maka tindakan yang tepat adalah, abaikan. Abaikan segala yang negatif. Ya, ABAIKAN! Apalah artinya sumpah jabatan. Memang tak berarti. Yang penting pasokan-pasokan tetap dikirimkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar