22/06/15

mer-ba-bu: Merekah Bersama "Gunung Ibu"

“Salam rimba!”, begitulah salam yang cukup sering terucap oleh kalangan pecinta alam. Singkat cerita, asal mula lahirnya organisasi pecinta alam di Indonesia adalah karena adanya beberapa pemuda pemudi yang senang berkegiatan di alam, terutama gunung, yang kemudian membentuk sebuah organisasi MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Kata “MAPALA” ini sebenarnya dicetus oleh mahasiswa-mahasiswa UI yang hingga sekarang menjadi singkatan umum bagi organisasi pecinta alam baik di tingkat universitas, fakultas, maupun jurusan. Hingga sekarang kegiatan para pecinta alam ini semakin berkembang, tidak hanya naik gunung, tetapi juga panjat tebing, turun goa, arung jeram, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kegiatan naik gunung (re: divisi gunung-hutan) merupakan awal dan trigger dalam perkembangan organisasi pecinta alam di Indonesia.

Salam rimba! saya ucapkan kepada saudara sekalian di manapun anda berada. Di sini saya ingin bercerita tentang kegiatan yang baru beberapa bulan lalu dilaksanakan. Kegiatan ini merupakan proker (program kerja) pertama divisi gunung-hutan dan saya kebetulan selaku koordinator divisinya. Dalam proker ini rencananya kami sekalian melakukan survey Diksar XXIX di samping memenuhi materi yang ingin dicapai. Dimulai dari rapat mingguan Majestic-55 yang salah satu agendanya adalah proker mendatang, maka sesuai dengan proposal yang sudah dirancang, kegiatan gunung-hutan pertama ini akan dilakukan di gunung Merbabu pada tanggal 27 - 28 September 2014. Di situ seperti biasa pengurus membentuk kepanitiaan kecil, membuat list peralatan yang masih kurang, menyusun jadwal rinci, dan membicarakan teknis di lapangannya.

Sesudah mempersiapkan segala alat-alat dan logistik yang diperlukan selama kurang lebih seminggu dan packing di carrier, siaplah kami para pengurus untuk berangkat. Sebelumnya briefing dulu untuk di perjalanan, lalu berdoa bersama demi kelancaran kegiatan, dan sudah menjadi tradisi bagi kami anggota Majestic-55 untuk menyanyikan hymne Majestic-55. Berlanjut dengan pamit serta bersalaman dengan mas-mas dan mbak-mbak yang berada di sekre. And we’re good to go!

Dalam perjalanan menuju basecamp Chuntel yang berada di Desa Kopeng kali ini, saya sebagai front man berboncengan dengan Mbahun, di belakang ada mas Wareng dengan motor matic merah kebanggaannya dan juga Pirtus yang selalu setia ditemani sang pacar, Poncan. Tak lupa kami mampir di pom bensin jakal mengisi persediaan bensin. Karena saya terbiasa melewati Palagan ketika hendak menuju Magelang, saya pun tanpa bimbang melewati jalan itu lagi meski sudah ada flyover-nya yang notebene lebih cepat. Hal ini diikuti oleh saudara Pirtus di belakang, namun tidak dengan mas Wareng yang melaju lurus. Inilah yang menyebabkan kami terpisah dengannya ketika motor saya dan Pirtus berhenti di Indomaret Magelang langganan. Namun karena masih belum menyadari, kami tetap menunggu mas Wareng. Sampai akhirnya cukup lama, saya putuskan untuk menghubunginya via selular, dan ternyata benar terjadi miskomunikasi, ia sudah berada di sekitar Mall Arthos Magelang, lumayan jauh dari tempat kami berada.

Karena kelaparan, dengan rasa bersalah kami “minta izin” dengan mas Wareng untuk makan dulu, yang disambutnya dengan “OK” dan juga memilih untuk nyantai di Indomaret dekat sana sambil menunggu kami menyusulnya. Saya, Mbahun, Poncan, dan Pirtus pun makan di warung yang tidak jauh dari Indomaret yang kami datangi dengan pilihan menu nasi gorang dan bakmie anglo. Sialnya, dompet saya ada di carrier yang dibawa mas Wareng dan Mbahun juga tidak sedang membawa dompet, sehingga kami meminjam dengan Poncan yang duitnya ternyata ngepas, untung saja. Untuk saat ini yang penting perut tidak keroncongan.

Kami pun melanjutkan perjalanan dan tibalah di Indomaret tempat mas Wareng berada yang terlihat suntuk menunggu sambil ditemani sebatang rokok dan segelas kopi dengan latar lagu dari blackberry-nya yang awet itu. Tidak langsung pergi, kami duduk-duduk lagi di sana. Saya dan Mbahun juga menumpang buang air kecil di dalam tanpa membeli apapun. Nyantai lagi, ngobrol lagi. Momen seperti ini memang harus dinikmati. Tapi mengingat waktu yang sudah menunjukkan pukul dua, kami terpaksa segera melanjutkan perjalanan agar cepat beristirahat. Kami pun siap dan komplit untuk meneruskan perjalanan di tengah malam yang dingin ini.

Bagi saya pribadi yang mengendarai motor, perjalanan berlangsung dengan aman dan nyaman sampai akhirnya di jalan Merbabu yang tidak terlalu lebar bila dibanding dengan jalan raya Magelang. Banyaknya kendaraan besar beroda empat berlalu lalang dengan lampu jauh yang sangat menyilaukan mata, membuat saya sering melambatkan motor saat kendaraan-kendaraan besar tersebut melaju dengan cepat di depan sana. Ditambah dengan carrier di antara paha saya yang selalu mencong ke kanan saat saya terus mencoba memposisikannya di tengah dengan posisi motor masih saya gas. Ini sangat mengganggu perjalanan dan semakin memperlambat laju motor saya saat hendak berbelok. Saran saya bila anda mengalami hal ini, sebaiknya berhenti terlebih dulu di pinggir jalan yang sepi untuk memperbaiki posisi carrier agar kenyamanan saat berkendara tetap terjaga, yang pastinya akan berpengaruh terhadap keselamatan anda. Kecuali bila anda mampu bertahan cukup lama gemetaran di atas motor setiap melihat kendaraan besar di depan melaju kencang dengan lampu ngejreng di jalanan yang berkelok-kelok seperti ini. Saya rasa saya tidak ingin mengalaminya lagi.

Dan sampailah kami di pertigaan menuju basecamp Chuntel Merbabu yang tidak kalah ekstrim. Meski tidak ada kendaraan roda empat sama sekali, tetap saja dengan tanjakan yang cukup curam dan sepertinya baru-baru saja ada jalan yang rusak (terakhir saya ke sini masih baik-baik saja), merepotkan motor saya yang sudah empat bulan lamanya ini belum diservis. Bukan hanya saya, Pirtus dan mas Wareng pun sepertinya sama-sama keberatan di belakang sana. Akhirnya kami tiba di basecamp Chuntel pukul setengah empat, ini tergolong lama karena keberangkatan kami telah dimulai pukul dua belas malam. Namun tetap logis mengingat kami beberapa kali melakukan pemberhentian dan tidak mengebut di jalanan.

Saat kami membuka pintu, tampak di berbagai sudut ruangan penuh dengan pemuda pemudi yang sedang terlelap dalam sleeping bag-nya. Kata mas Ando, penjaga basecamp, ini biasa terjadi setiap weekend. Banyak orang yang ingin mengisi waktu liburannya di gunung, apalagi dengan trend naik gunung belakangan ini. Bukan bermaksud menghakimi, tapi faktanya tidak sedikit para pendaki seperti ini yang tidak memegang prinsip SOP (safety operating procedure) pendakian, dapat dilihat dari bawaan yang ala kadarnya, umumnya sepatu kets dan tas ransel biasa.


Atas ide out of the box-nya mas Wareng, kami pun mendirikan dome di parkiran luar basecamp yang hanya diisi dengan tiga motor kami. Setelah itu Poncan yang pertama memasuki dome langsung beristirahat, di dalam basecamp ada Mbahun yang sedang menunggu waktu sholat subuh, sedang Pirtus, mas Wareng, dan saya mengobrol singkat di teras basecamp. Lalu dengan jam yang sudah menunjukkan pukul setengah lima kami masuk ke dalam dome, kecuali mas Wareng yang malah memilih tidur di dalam basecamp. Tak lama kemudian Mbahun masuk ke dalam dome. Selamat beristirahat, saudara! 


Terik matahari menembus dome, Pirtus terbangun dan membangunkan kami bertiga untuk pindah ke dalam basecamp melanjutkan isitrahat. Namun sudah pukul setengah delapan dan sulit rasanya tidur kembali, takut kebablasan. Jadi, alarm yang sudah saya pasang untuk pukul setengah sembilan sia-sia karena terpaksa bangun lebih cepat. Sial. Dengan jangka waktu sampai pukul sebelas, kami punya waktu lebih banyak untuk bersiap-siap.

Tiba-tiba di depan pintu mas Legi muncul dengan gaya old skool-nya. Seharusnya ia sudah berangkat bersama kami tadi malam, namun tidak jadi karena ada force majeure (re: keadaan memaksa). Poncan yang ditetapkan menjadi sie konsumsi alias koki dalam kegiatan ini ditemani Mbahun membeli bahan makanan di warung. Masakan pagi ini adalah nasi sop, menu andalan sang koki yang bisa dibilang sehat dan bergizi bagi kami semua untuk memulai kegiatan hari ini, yaitu mencari lokasi pelucutan sekaligus wawancara terakhir dan titik survival untuk Diksar XXIX nanti.


Tepat jam sebelas, kami sudah selesai packing kembali. Sebelum melakukan pergerakan, tak lupa foto-foto dulu dengan kamera milik si fotografer, Pirtus. At last, dimulailah kegiatan di hari pertama ini. Setengah jam berlalu dan kami sampai di tempat yang kami mantapkan sebagai lokasi pelucutan sekaligus wawancara terakhir, tidak jauh dari lokasi diksar tahun lalu yang sekarang sudah rimbun, hanya berjarak beberapa meter. Kami tandai dengan tali rafia di salah satu pohon sebagai pengingat. Selanjutnya kami berjalan lagi mencari flying camp panitia dan survival peserta. Sesampainya di flying camp panitia, kami membersihkan tempat tersebut dengan parang yang biasa kami sebut sebagai “tramontina” (re: merek parang). Selesai bersih-bersih kami istirahat sejenak dan memasak beberapa mie instan, sambil mencoba mem-plotting titik kami berada di peta dengan teknik konturing.


Kegiatan diteruskan dengan mencari lokasi survival. Sebetulnya tidak begitu sulit menemukan lokasi survival ini karena kami masih menggunakan jalur yang sama seperti tahun lalu. Namun pencarian titik-titik yang pas tersebut yang agak membingungkan, harus didasari banyak pertimbangan. Akhirnya setelah beberapa jam mencari-mencari target pun tercapai, tapi kami belum selesai. Mas Wareng dengan pisau dan perkakasnya yang unik mencoba membuat api unggun, kurang tahu persis namanya apa. Lalu entah siapa yang memulai, kami bermain dan berperan sebagai manusia purbakala yang hanya dan terus menerus mengatakan, “huba, huba, hoobaaaa”. Lelah dan puas tertawa kami pun jalan kembali ke basecamp dan setibanya di sana waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Puji dan syukur kepada-Nya, kegiatan hari ini berlangsung lancar dan tepat waktu.

Keesokan harinya, suara alarm yang berteriak mengajak ribut menandakan bahwa kami harus bangun. Dengan rasa malas saya mengeluarkan diri dari dalam sleeping bag kesayangan, sambil mengucek-ngucek mata saya lihat yang lainnya masih nyenyak layaknya bocah-bocah. Tidak enak hati saya bangunkan mereka dari alam bawah sadar, agak menyebalkan sebenarnya karena tak satupun yang kunjung bangun, tapi beberapa lama kemudian akhirnya bangun juga. Di hari kedua ini bertambah lagi satu personil, Bagak, yang tidak mengikuti kegiatan hari pertama dikarenakan tuntutan kuliah. Ia sampai di basecamp tadi malam.

Pukul delapan pagi saya memasang dan menyetel radio rig di basecamp yang akan digunakan oleh mas Legi untuk berkomunikasi dengan kami melalui HT (handy talky). Ia stay di basecamp, sedang kami berenam akan memulai materi baru di hari kedua ini, yaitu navigasi darat dan memasang marker sementara. Sehabis itu saya mencoba dan mencatat empat jalur frekuensi bersih yang akan dipakai nantinya. Kenyang makan dan bersih-bersih kami langsung bersiap-siap. Beberapa anak masih mem-plotting titik-titik koordinat grid delapan angka yang sudah diberikan sebelumnya ke dalam peta. Akhirnya tepat di pukul sembilan kami pun siap untuk berangkat. Semangat, saudara!

Tidak begitu lama untuk tiba di hutan Pinus, kami segera mengontak basecamp untuk memberi kabar bahwa kami sedang akan mencari lokasi bivak dan dilanjutkan dengan refresh materi navigasi darat. Di sini, dikelilingi tanda-tanda medan yang jelas, kami senang mempraktekkan teknik modified resection (re: kombinasi antara menembak titik dan melakukan konturing). Puas bernavigasi darat kami pun berjalan menuju Desa Tekelan. Setibanya di sana dengan rasa penat kami berjalan semakin lambat, sampai akhirnya terlihat dari kejauhan ada sebuah gerobak dan bunyi bel es krim! Ibarat melihat api saat sedang tersesat, rasa semangat itu kembali menyengat. Cuuuuuss, kami mengejar mas penjual es krim. Dan yang lebih menggembirakan hati, di sebelahnya ada gerobak tempura, saudara-saudara! Oh, what a wonderful world, kalau kata Louis Armstrong.


Setelah itu kami meneruskan perjalanan ke tempat yang biasa kami sebut CSP (common starting point). Tanpa aba-aba kami sudah membuka alat navigasi darat (re: kompas, peta, protaktor) dan alat tulis lagi untuk berlatih teknik resection (re: menembak dua tanda medan atau lebih). Ada dua tanda medan berupa puncak gunung Andong dan gunung Telomoyo yang cukup jelas untuk ditembak di sini, namun tak menutup kemungkinan untuk menggunakan tanda medan lain, baik ketika sedang melakukan resection, konturing¸ ataupun kombinasi keduanya.


Dan sekarang waktunya menuju titik-titik yang sudah di-plotting sebelumnya di basecamp. Zzzzssst, bunyi HT memanggil, “cek modulasi, cek modulasi, di sini Legi di basecamp memanggil tim PL (re: pendamping lapangan), ganti”. Panggilan tersebut segera saya jawab dan terjadi komunikasi berkisar tiga menit. Rupanya saya lupa memberi kabar kepada basecamp. Next, kembali mencari titik-titik, tak dapat dihindari muncul perdebatan-perdebatan kecil terkait posisi siapa yang paling benar. Namun bukan masalah, ini berarti bahwa setiap orang tidak hanya ikut-ikutan tetapi juga memiliki pemikirannnya masing-masing, tinggal bagaimana ia meyakinkan yang lainnya dengan argumen yang logis dan tepat.

Di tengah perjalanan, kami disaksikan oleh sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan. Kebakaran hutan sepanjang belasan meter yang tak tahu pasti disebabkan oleh apa atau siapa, bisa jadi karena pengaruh cuaca yang kering ditambah dengan terpaan angin kencang ataupun karena ulah tangan manusia itu sendiri. Tapi tak usahlah menyalah-nyalahkan karena jujur saya pun tak bisa berbuat apa-apa selain menghimbau kepada siapapun, termasuk saya sendiri, untuk lebih aware dan tidak memperburuk keadaan.


Kami sampai di tempat peristirahatan dua jam kemudian. Tempat yang bertuliskan “Pos Pendhing” itu sering kami sebut sebagai “bak air”, karena di situlah tempat kami biasa mengisi persediaan air dengan wadah berwujud bak. Terdapat semacam pendopo kecil juga, tempat kami memasak dan beristirahat sejenak. Tak lupa, saya mencoba menghubungi basecamp yang hasilnya nihil, sudah mengarahkan antena HT ke basecamp tetap saja tidak berpengaruh. Ah, dasar pending di Pos Pendhing.

Di sebelah saya, ada Poncan yang masih memegang bibit pohon beringin yang ia beri nama “Ingin”. Sebelumnya saya jelaskan terlebih dulu kalau ini merupakan salah satu agenda dari kegiatan PML (Pengabdian Masyarakat dan Lingkungan) yang dikoordinatori oleh Bagak. Bibit pohon beringin ini rencananya akan ditanam di sekitar sini. Namun sebelum menanam dan menaruh kertas berisi data yang dikaitkan di “Ingin” tersebut, tidak lupa sesi foto dengan Bagak, “Ingin”, dan mas Wareng sebagai modelnya. Jepret!


Cuaca mulai berkabut pertanda bahwa kami harus segera melanjutkan pergerakan. Tapi sebelum pergi tidak lupa membersihkan dan membawa sampah-sampah pribadi, ingat kalimat, “leave nothing but footprints”? Jangan hanya menjadi tulisan semata. Mendaki lagi, menikmati hawa sejuk Merbabu, saling bercengkerama meski jalur yang kami lewati semakin menanjak dan tetap semangat karena di depan sana adalah tempat yang senantiasa ditunggu-tunggu, bukit 2000!

Ingin rasanya nge-camp di sini lagi bila tidak diingatkan dengan kuliah esok pagi. Pemandangan yang menyegarkan mata membuat kami terhanyut dalam nostalgia. Tapi tidak boleh lama bersantai, kami harus terus berjalan menuntaskan kewajiban yang belum selesai, yakni memasang marker sementara. Dan tibalah di penghujung pendakian yang menjadi momen favorit saya karena tidak begitu melelahkan. Kami pun menuruni setapak demi setapak sampai akhirnya tiba di basecamp dengan hanya memakan waktu empat puluh menit. Hooray!

Puji dan syukur kembali saya ucapkan kepada-Nya karena kami semua masih diberi keselamatan. Dan untuk pengurus yang mengikuti proker merangkap survey Diksar XXIX ini, terimakasih atas kerjasamanya dan maafkan saya bila ada salah kata.

Sekian cerita pengalaman proker gunung-hutan dari saya yang mungkin terdengar antiklimaks dan biasa-biasa saja. Apa mau dikata, saya bukanlah penulis yang lihai memainkan kata-kata. Segala kesamaan karakter dan tempat bukanlah fiksi belaka, karena ini adalah kisah nyata. Semoga hal-hal yang baik dapat dipetik hikmahnya dan yang buruk dapat menjadi refleksi kedepannya. Akhir kata, MATI URIP GUNUNG-HUTAN!

***

tulisan ini dibuat pada bulan Desember 2014 dan
dimuat dalam majalah Senandung Ilalang edisi Mei 2015 Majestic-55 FH UGM

x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar