18/12/15

Pidana mati: setuju atau tidak setuju?

Pembahasan tentang pidana mati dapat diibaratkan seperti air sungai yang selalu mengalir dari hulu ke hilir, tidak ada habisnya. Setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing terhadap pidana mati, baik menyetujuinya, menentangnya, ataupun di antaranya. Adanya pro dan kontra atas suatu obyek, dalam hal ini pidana mati, adalah sesuatu yang wajar mengingat pada dasarnya manusia adalah makhluk hidup yang memiliki akal dan rasio yang tentunya tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Jadi, bisa dikatakan inilah yang membuat manusia lebih spesial bila dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Pun untuk saya pribadi yang termasuk satu dari sekian banyaknya manusia-manusia itu.

Secara sederhana, pidana mati dapat dikatakan sebagai hukuman paling berat terhadap seseorang akibat dari perbuatannya yang dijatuhkan melalui pengadilan atau tanpa pengadilan. Hukuman terberat dikarenakan menyangkut nyawa seseorang itu. Tata cara pelaksanaan pidana mati pun bermacam-macam dan di Indonesia sendiri prinsipnya dilakukan dengan cara ditembak sampai mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Kembali lagi mengenai pendapat terhadap pidana mati, sejujurnya awalnya sulit bagi saya untuk menentukan keberpihakan saya, apakah saya termasuk orang-orang yang pro atau orang-orang yang kontra. Namun setelah melalui proses pemikiran yang cukup panjang dan matang, akhirnya dengan ini saya bisa menyatakan bahwa saya adalah orang yang termasuk ke dalam kategori menentang pidana mati. Ini dikarenakan saya merasakan kurangnya dampak dan manfaat keberadaan pidana mati tersebut.

Menurut saya, bila saya melihat sebagai orang yang menyetujui pidana mati, sederhananya, adanya pidana mati ditujukan untuk mengadili para kriminal yang telah melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian besar. Selain itu, pidana mati ini dijatuhkan dalam rangka meminimalisasi munculnya kerugian dalam jumlah yang lebih besar lagi, baik dari segi materiil maupun immateriil. Dalam arti, bila tidak dilakukan penindakan tegas (penjatuhan pidana mati), dimungkinkan akan terjadinya pengulangan perbuatan oleh pelaku dan/atau orang lain.di masa yang akan datang. Di sini sekali lagi, menurut saya bila diposisikan sebagai orang yang pro terhadap pidana mati, pidana mati dijatuhkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan efek jera terhadap orang lain untuk tidak melakukan pengulangan perbuatan pidana. Namun hal-hal tersebut terkesan sebagai solusi yang semu dan hanya sebagai jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah seutuhnya. Dan pada faktanya, tidak dapat dihindari, masih begitu banyak orang-orang yang mengulangi perbuatan pidana yang diancam hukuman mati tersebut.

Di sisi lain, adanya hak asasi manusia yang selalu diartikan sebagai hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan dan tidak dapat diganggugugat, di dalam Undang-undang Dasar 1945 pun diatur tentang hak untuk hidup sebagai salah satu hak asasi manusia tersebut pada pasal 28A yang bunyinya: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”, tentunya ini bertentangan dengan keberadaan pidana mati tersebut. Di sini saya mengambil contoh negara Indonesia sebagai salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati.

Berdasarkan sumber dari Amnesty International dan Hands Off Cain (September 2007), diketahui bahwa ada 94 negara di dunia yang sudah menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, 9 negara yang menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa, 39 negara yang tidak melakukan eksekusi mati dalam 10 tahun terakhir (memiliki komitmen politik tidak melakukan eksekusi), dan 55 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, sebelumnya telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil Politik, namun selanjutnya tidak diikuti dengan ratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-hak Sipil Politik tentang Penghapusan Hukuman Mati, sehingga tidak diwajibkan untuk menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan. Karena pada pasal 6 BAGIAN III Kovenan Hak-hak Sipil Politik itu juga diatur sebagai berikut:
Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
Dari sini saya menyimpulkan kurangnya ketegasan dari negara ini yang hanya meratifikasi setengah.

Dalam peraturan hukum di Indonesia terdapat pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, penjara, denda, tutupan, dan pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Dalam rancangan KUHP nasional diatur pula mengenai tujuan pemidanaan, yaitu mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selain itu, dijelaskan pula bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Kalau begitu bila melihat tujuan pemidanaan berdasarkan rancangan KUHP nasional tersebut, dengan dijatuhkannya pidana mati maka seseorang tidak akan bisa untuk “diperbaiki”. Saya juga merasakan bahwa pidana mati kurang memberikan manfaat jangka panjang. Sebagai contoh, dijatuhkannya pidana mati terhadap pengedar Narkotika ditujukan untuk menghindari adanya kerugian yang lebih parah, seperti meningkatnya penyalahgunaan Narkotika oleh masyarakat luas untuk ke depannya, di samping akibat-akibat yang sudah terjadi. Karena dikatakan bahwa selain hak untuk hidup seseorang dilindungi dalam Undang-undang Dasar, namun hak-hak tersebut pada dasarnya tetap dibatasi dengan memperhatikan hak orang lain, dalam hal ini untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Namun bila dianggap demikian, menurut saya, dengan adanya pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara waktu tertentu, seharusnya kepentingan masyarakat itu sendiri sudah dapat terlindungi.

Adanya pendapat-pendapat terkait pembatasan dalam pasal 28A tersebut dengan menggunakan pasal 28J, yaitu:
(1)  Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)  Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketetiban umum.
Ini umumnya dijadikan dasar untuk memperbolehkan pidana mati yang saya kira adalah suatu kekeliruan. Karena yang dibatasi pada pasal 28J tersebut bukanlah hak seseorang untuk hidup, melainkan hak seseorang dalam menjalankan kehidupannya tersebut.

Selain itu pernyataan seperti adanya pidana mati diharapkan untuk memberikan efek jera terhadap orang lain agar tidak mengulangi perbuatan yang sama, serta ada pula alasan seperti jika tidak dijatuhkan pidana mati melainkan hanya pidana penjara, seringnya para terpidana yang sudah menjalani masa hukumannya melakukan lagi perbuatan pidana setelah mereka dibebaskan dari penjara. Menurut saya alasan-alasan tersebut kurang efektif dikarenakan hanya menuntaskan pelaku tindak pidananya saja dan bukan perbuatannya, dan juga terkesan menggeneralisasi dan pesimistis, bahwasanya terhadap pelaku pidana sudah tidak dapat diharapkan untuk direhabilitasi / dibina lagi. Ini tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

Prof. Muladi beranggapan bahwa dalam perangkat tujuan pemidanaan harus mencakup dua hal, yaitu sedikit banyak harus menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan pelaku dan harus memenuhi tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat. Jadi pada dasarnya pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Prof. Muladi juga menyatakan bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja, sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan, karena pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana di dalam perundang-undangan. Namun hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan pelaku saja, sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana.[1]

Atas pendapat yang cukup netral tersebut, sebenarnya saya masih kurang setuju. Masih sama seperti yang saya katakan sebelumnya, karena saya meyakini dengan adanya pidana-pidana lain, seperti pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara waktu tertentu, seharusnya pidana mati tidak perlu dijadikan sebagai alternatif dalam menyelesaikan suatu masalah atas nama kepentingan masyarakat luas. Saya lebih condong dengan pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi terpidana. Maka dari itu bagaimana bisa merehabilitasi seseorang yang sudah dipidana mati.

Selain hal-hal di atas, saya tidak menghendaki adanya pidana mati dikarenakan bila seseorang yang telah dijatuhkan pidana mati tersebut di kemudian hari ternyata berdasarkan bukti baru diketahui tidak bersalah melakukan tindak pidana yang ditetapkan padanya, maka untuk memulihkan haknya tersebut tidak mungkin dapat terjadi, karena orang yang sudah mati tidak mungkin bisa dihidupkan kembali.

Jadi, kesimpulannya ialah bahwa saya tidak setuju dengan pidana mati karena pidana mati kurang efektif dalam mengurangi kriminalitas dan melanggar hak asasi manusia sebagai hak seutuhnya yang seharusnya dilindungi oleh negara.


[1] Prof. Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang, 1990

***

Ditulis pada 17 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar