Pembahasan tentang pidana mati dapat
diibaratkan seperti air sungai yang selalu mengalir dari hulu ke hilir, tidak
ada habisnya. Setiap orang memiliki pendapatnya masing-masing terhadap pidana
mati, baik menyetujuinya, menentangnya, ataupun di antaranya. Adanya pro dan
kontra atas suatu obyek, dalam hal ini pidana mati, adalah sesuatu yang wajar mengingat
pada dasarnya manusia adalah makhluk hidup yang memiliki akal dan rasio yang
tentunya tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Jadi, bisa dikatakan
inilah yang membuat manusia lebih spesial bila dibandingkan dengan makhluk
hidup lainnya. Pun untuk saya pribadi yang termasuk satu dari sekian banyaknya
manusia-manusia itu.
Secara sederhana, pidana mati dapat dikatakan
sebagai hukuman paling berat terhadap seseorang akibat dari perbuatannya yang
dijatuhkan melalui pengadilan atau tanpa pengadilan. Hukuman terberat
dikarenakan menyangkut nyawa seseorang itu. Tata cara pelaksanaan pidana mati
pun bermacam-macam dan di Indonesia sendiri prinsipnya dilakukan dengan cara
ditembak sampai mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer.
Kembali lagi mengenai pendapat terhadap
pidana mati, sejujurnya awalnya sulit bagi saya untuk menentukan keberpihakan
saya, apakah saya termasuk orang-orang yang pro atau orang-orang yang kontra.
Namun setelah melalui proses pemikiran yang cukup panjang dan matang, akhirnya
dengan ini saya bisa menyatakan bahwa saya adalah orang yang termasuk ke dalam
kategori menentang pidana mati. Ini dikarenakan saya merasakan kurangnya dampak
dan manfaat keberadaan pidana mati tersebut.
Menurut saya, bila saya melihat sebagai orang
yang menyetujui pidana mati, sederhananya, adanya pidana mati ditujukan untuk mengadili
para kriminal yang telah melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian
besar. Selain itu, pidana mati ini dijatuhkan dalam rangka meminimalisasi
munculnya kerugian dalam jumlah yang lebih besar lagi, baik dari segi materiil
maupun immateriil. Dalam arti, bila tidak dilakukan penindakan tegas
(penjatuhan pidana mati), dimungkinkan akan terjadinya pengulangan perbuatan
oleh pelaku dan/atau orang lain.di masa yang akan datang. Di sini sekali lagi,
menurut saya bila diposisikan sebagai orang yang pro terhadap pidana mati, pidana
mati dijatuhkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan
efek jera terhadap orang lain untuk tidak melakukan pengulangan perbuatan
pidana. Namun hal-hal tersebut terkesan sebagai solusi yang semu dan hanya
sebagai jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah seutuhnya. Dan pada
faktanya, tidak dapat dihindari, masih begitu banyak orang-orang yang
mengulangi perbuatan pidana yang diancam hukuman mati tersebut.
Di sisi lain, adanya hak asasi manusia yang
selalu diartikan sebagai hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan
dan tidak dapat diganggugugat, di dalam Undang-undang Dasar 1945 pun diatur
tentang hak untuk hidup sebagai salah satu hak asasi manusia tersebut pada
pasal 28A yang bunyinya: “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”,
tentunya ini bertentangan dengan keberadaan pidana mati tersebut. Di sini saya
mengambil contoh negara Indonesia sebagai salah satu negara yang masih menerapkan
hukuman mati.
Berdasarkan sumber dari Amnesty International
dan Hands Off Cain (September 2007), diketahui bahwa ada 94 negara di dunia
yang sudah menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, 9 negara yang menghapus
hukuman mati untuk kejahatan biasa, 39 negara yang tidak melakukan eksekusi
mati dalam 10 tahun terakhir (memiliki komitmen politik tidak melakukan eksekusi),
dan 55 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, sebelumnya telah
meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil Politik, namun selanjutnya tidak diikuti
dengan ratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-hak Sipil Politik
tentang Penghapusan Hukuman Mati, sehingga tidak diwajibkan untuk menghapuskan hukuman
mati secara keseluruhan. Karena pada pasal 6 BAGIAN III Kovenan Hak-hak Sipil
Politik itu juga diatur sebagai berikut:
“Di negara-negara yang belum menghapuskan
hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa
kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan
Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman
ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh
suatu pengadilan yang berwenang.”
Dari sini saya menyimpulkan kurangnya
ketegasan dari negara ini yang hanya meratifikasi setengah.
Dalam peraturan hukum di Indonesia terdapat
pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, penjara, denda, tutupan, dan pidana
tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Dalam rancangan KUHP nasional
diatur pula mengenai tujuan pemidanaan, yaitu mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selain itu, dijelaskan pula bahwa
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Kalau begitu bila melihat tujuan pemidanaan
berdasarkan rancangan KUHP nasional tersebut, dengan dijatuhkannya pidana mati
maka seseorang tidak akan bisa untuk “diperbaiki”. Saya juga merasakan bahwa
pidana mati kurang memberikan manfaat jangka panjang. Sebagai contoh, dijatuhkannya
pidana mati terhadap pengedar Narkotika ditujukan untuk menghindari adanya
kerugian yang lebih parah, seperti meningkatnya penyalahgunaan Narkotika oleh
masyarakat luas untuk ke depannya, di samping akibat-akibat yang sudah terjadi.
Karena dikatakan bahwa selain hak untuk hidup seseorang dilindungi dalam Undang-undang
Dasar, namun hak-hak tersebut pada dasarnya tetap dibatasi dengan memperhatikan
hak orang lain, dalam hal ini untuk melindungi kepentingan masyarakat umum.
Namun bila dianggap demikian, menurut saya, dengan adanya pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara waktu tertentu, seharusnya kepentingan masyarakat itu
sendiri sudah dapat terlindungi.
Adanya pendapat-pendapat terkait pembatasan
dalam pasal 28A tersebut dengan menggunakan pasal 28J, yaitu:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(2) Dalam menjalankan dan melindungi hak
asasi dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketetiban umum.
Ini umumnya dijadikan dasar untuk
memperbolehkan pidana mati yang saya kira adalah suatu kekeliruan. Karena yang
dibatasi pada pasal 28J tersebut bukanlah hak seseorang untuk hidup, melainkan
hak seseorang dalam menjalankan kehidupannya tersebut.
Selain itu pernyataan seperti adanya pidana
mati diharapkan untuk memberikan efek jera terhadap orang lain agar tidak
mengulangi perbuatan yang sama, serta ada pula alasan seperti jika tidak
dijatuhkan pidana mati melainkan hanya pidana penjara, seringnya para terpidana
yang sudah menjalani masa hukumannya melakukan lagi perbuatan pidana setelah
mereka dibebaskan dari penjara. Menurut saya alasan-alasan tersebut kurang
efektif dikarenakan hanya menuntaskan pelaku tindak pidananya saja dan bukan
perbuatannya, dan juga terkesan menggeneralisasi dan pesimistis, bahwasanya
terhadap pelaku pidana sudah tidak dapat diharapkan untuk direhabilitasi /
dibina lagi. Ini tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna.
Prof. Muladi beranggapan bahwa dalam
perangkat tujuan pemidanaan harus mencakup dua hal, yaitu sedikit banyak harus menampung
aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar
tingkat kesalahan pelaku dan harus memenuhi tujuan pemidanaan berupa memelihara
solidaritas masyarakat. Jadi pada dasarnya pemidanaan harus diarahkan untuk
memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Prof. Muladi juga menyatakan
bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja,
sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan
pembalasan, karena pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak
pidana di dalam perundang-undangan. Namun hukum pidana juga tidak benar apabila
hanya memperhatikan pelaku saja, sebab dengan demikian penerapan hukum pidana
akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang
luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dan kepentingan korban
tindak pidana.[1]
Atas pendapat yang cukup netral tersebut,
sebenarnya saya masih kurang setuju. Masih sama seperti yang saya katakan
sebelumnya, karena saya meyakini dengan adanya pidana-pidana lain, seperti
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara waktu tertentu, seharusnya
pidana mati tidak perlu dijadikan sebagai alternatif dalam menyelesaikan suatu
masalah atas nama kepentingan masyarakat luas. Saya lebih condong dengan
pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk merehabilitasi
terpidana. Maka dari itu bagaimana bisa merehabilitasi seseorang yang sudah
dipidana mati.
Selain hal-hal di atas, saya tidak
menghendaki adanya pidana mati dikarenakan bila seseorang yang telah dijatuhkan
pidana mati tersebut di kemudian hari ternyata berdasarkan bukti baru diketahui
tidak bersalah melakukan tindak pidana yang ditetapkan padanya, maka untuk
memulihkan haknya tersebut tidak mungkin dapat terjadi, karena orang yang sudah
mati tidak mungkin bisa dihidupkan kembali.
Jadi, kesimpulannya ialah bahwa saya tidak
setuju dengan pidana mati karena pidana mati kurang efektif dalam mengurangi
kriminalitas dan melanggar hak asasi manusia sebagai hak seutuhnya yang seharusnya dilindungi oleh negara.
[1] Prof.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materil Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang, 1990
***
Ditulis pada 17 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar