Dosen
saya yang tidak setuju dengan pidana mati berpendapat kalau pidana mati itu
ibarat memotong ranting, artinya kurang memberi dampak yang signifikan bagi orang lain (yang mungkin akan mengulanginya), karena jelas ranting bisa
tumbuh lagi. Dan ia berharap agar akarnya lah yang dicabut sampai lepas supaya
kriminalitas itu yang benar2 lenyap dan tuntas, bukan para kriminalnya.
Dia
secara tersirat lebih memilih cara yang dipakai pemerintah Norway yang lebih ke
arah rehabilitative dan tidak ada
pidana mati sama sekali. Intinya, ia menganggap pemidanaan sebagai pembalasan
itu = motong ranting, sedangkan pemidanaan sebagai pemulihan = cabut akar.
Sebenarnya
saya setuju dengan pendapat Ibu ini, emang kalau hanya memotong
ranting terlalu gampang untuk dikatakan menyelesaikan masalah, yah mungkin menunda. Tapi.
Oke
kita anggap saja mencabut akar tersebut sebagai solusi, oleh karenanya pasti
butuh waktu yang cukup lama. Sedangkan memotong ranting itu cepat tapi efeknya
pun juga sebentar, akan tumbuh lagi.
Maka
dari itu menurut saya, jika kita semua sepakat untuk menunggu selagi berusaha bersama2 sampai akar itu
tercabut selamanya dari tanah (yang notabene butuh waktu lama), bukankah lebih baik kalau waktu yang ada selama
kita menunggu itu digunakan untuk memotong rantingnya secara berkala juga?
Get it?
Gini deh, contoh.
Ada pohon depan rumah kita yang merusak pemandangan. Makanya kita pengen musnahin itu pohon. Di kehidupan nyata pasti digergaji lah ya, tapi karena ini contoh jadinya dilebayin aja.
Kita pengen musnahin itu pohon dengan mencabutnya sampai akar2nya. Bisa dikira2 sendiri lah makan waktu berapa bulan, taon mungkin.
Pohon ini semakin lama daunnya semakin lebat dan semakin mencegah kita melihat pemandangan indah di luar sana. Ga sabar lah ya kalo kita nungguin sampe akar pohon itu lepas.
Makanya, selagi kita berusaha untuk menghilangkan pohon itu selama2nya, kita pun juga memilih untuk memotong ranting2 yang ada di pohon itu secara rutin.
Ah gitulah.